Hikmah di Balik Polisi Palsu Nan Ringan Tangan: Bersabar

 

Oleh : Suryadi,M.Si dan Edy Sumardi Priadinata, S.I.K.,M.H

Buser Bhayangkara, 74 BANTEN

Ini salah satu bukti kerja- kerja profesi tak bisa digantikan oleh profesi lain. Apa tah lagi, cuma mengaku-aku diri anggota Polri, kemudian ringan memukul dan mengancam (akan) menembak orang yang dianggap (cuma) telah bikin jengkel.
Apa yang terjadi kemudian?
Dalam status tersangka, ia harus berurusan dengan penyidik Polri.
Urusan jadi panjang, masuk ke ranah hukum. Meja hijau pun menanti digelar.

***

ITULAH nasib Jni (41) alias Jhn. Laki-laki yang karyawan swasta itu adalah warga Kampung Santri, Desa Curuk Barang, Cipeucang, Pandeglang, Banten.

Ia telah mengaku-aku anggota Polri. Tak cuma sebatas itu. Ia diadukan korban, tujuh kali memukul (menganiaya) sambil mengaku anggota Polri dan mengancam akan menembak korban, Mulyadi, seorang pemotor. Korban diam saja ketakutan, tapi diam-diam kemudian mengadukannya ke Polres Lebak, Banten.

***

KEJADIANNYA berawal dari hal yang remeh-temeh sehingga terasa sangat tak masuk akal bisa membuat Jni bertindak main hakim.

Begini kroniknya. Pagi itu sekitar jam 08.00, Senin (3/5/21), ia mendorong motor yang kehabisan BBM dari Kampung Pasir Waru, Desa Mekaragung, Cibadak. Ia dibantu dua rekannya, Aji dan Romdani.

Maksudnya, akan mengisi BBM di SPBU Rumbut, Kaduagung, Cibadak, Lebak. Tapi, belum lagi sampai tujuan, sebuah minibus B2841WAC datang menyalipnya dari arah berlawanan. Mulyadi kaget dan perhatiannya tertuju kepada laki-laki yang menyetir Avanza itu.

Selang beberapa saat, Mulyadi sambil mendorong dibantu kedua orang rekannya, sampai di SPBU yang dituju.

Betapa terkejutnya Mulyadi ketika tiba-tiba Avanza silver tadi menyalipnya minggir di sisi kanan depannya. Pintu mobil itu terbuka hingga mengenai bahu kirinya.

Selanjutnya, seorang laki-laki turun dari mobil tersebut yang tak lain adalah laki-laki dengan Avanza tadi menyalipnya.

Laki-laki itu kemudian menghampiri Mulyadi seraya berkata, “Saya dari Polda, saya tembak kepalamu!”. Yang diancam membalas, “Silakan Pak, saya orang miskin, mau ditembak juga.”

Benar saja, tapi bukan menembak. Jni melayangkan tujuh pukulan kepada Mulyadi. “Empat kali mengena wajah saya bagian kanan, dan tiga kali wajah bagian kiri,” ungkap korban kepada penyidik seperti juga kesaksian dua rekannya.

Tak lama kemudian, viral video peristiwa tersebut, beriringan dengan pengaduan Mulyadi kepada Polisi.

Polisi pun bertindak. Empat hari penelusuran, kemudian polisi mencokok Jni di kediamannya di Cisantri, Curug Barang, Cipeucang, Pandeglang.

Terungkap lebih jauh, Avanza yang digunakan tersangka masih atas nama orang lain warga Jakarta Barat.

Dari peristiwa tersebut dapat disimpulkan pelaku telah melakukan:
1. Mengaku-aku anggota Polri.
2. Mengancam akan menembak korban.
3. Ringan tangan telah berkali-kali memukul korban.
4. Selain itu, patut menjadi perhatian setiap warga yang telah menjual kendaraan bermotornya melaporkan kepada Samsat, agar masuk ke dalam data perubahan kepemilikan.

***

SUNGGUH tak masuk akal sehat. Gara-gara hal yang sesepele itu, nama Polri tempat terbawa-bawa nyaris terperosok menjadi fitnah berkepanjangan bila tersangka tak cepat ditemukan.

Senjata api (senpi) yang bagi polisi hanya akan digunakan dalam keadaan terpaksa alias darurat, “digunakan” untuk mengintimidasi. Benar bahwa, meski, dalam kasus Jni – Mulyadi, senjata api dalam logika “saya tembak” hanya gertakan belaka.

Senpi, dikatakan hanya akan digunakan polisi dalam keadaan darurat adalah apabila nyawanya betul-betul terancam atau membahayakan korban atau orang lain di sekitarnya.

Kini semua sudah terjadi. Profesi bukan sekadar pekerjaan, termasuk menjadi anggota Polri. Profesi adalah “panggilan jiwa” yang membuat penyandangnya bertahan hingga menjadi ahli.

Kekhususan atas suatu keahlian bukan untuk sekadar dibayar dengan materi, apalagi untuk sekadar gagah-gagahan.

Keahlian dari suatu profesi tak bisa digantikan oleh keahlian profesi yang berbeda. Selain keahliannya yang tidak memungkinkan untuk itu, etika dan moral yang membimbing pengakan hukum tidak membenarkan hal itu. Apalagi hukum.

Apa tah lagi untuk seorang karyawan swasta semisal Jni.
Bagi setiap warga negara yang baik adalah petiklah hikmah: bersabarlah!

(Hms/Kang Bob/Pendi Banten)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.